Friday, February 17, 2012

Nyonya Semarang dan Chiang Kai Shek

Kompas Cetak Kamis, 12 Agustus 2010
Tidak banyak dikenal, bahkan terlupakan, itulah Oei Hui Lan, perempuan Semarang yang menjalankan diplomasi informal untuk Generalissimo Chiang Kai Shek pada Perang Dunia II. Hui Lan, kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 21 Desember 1889, adalah putri Oei Tiong Ham, konglomerat pertama Asia Tenggara, bos Kian Gwan Concern yang dijuluki ”Rockefeller Asia”. Oei Hui Lan adalah sosialita dunia, menghabiskan waktu di Semarang, Singapura, London, Paris, Shanghai, Beijing, Washington DC, dan terakhir kali menutup usia di New York, Amerika Serikat. ”Madame Song Mei Ling, istri Jenderal Chiang, selalu memuji Hui Lan di depan para pemimpin dunia. Dia disebut sebagai orang penting di balik layar diplomasi Tiongkok semasa Perang Dunia II,” kata Tommy Lee, Kepala Penerangan Kamar Dagang Taiwan di Jakarta. Hui Lan menjadi tokoh di belakang layar diplomasi dunia setelah menikahi Wellington Koo, Duta Besar dan kelak Menteri Luar Negeri Republik Tiongkok (Zhong Hua Min Guo) saat berada di Eropa dan AS semasa Perang Dunia II. Buku Raja Gula Oei Tiong Ham karya Liem Tjwan Ling menyebutkan, Hui Lan hijrah ke London menemani ibunya, Goei Bing Nio, tahun 1918. Ia tinggal di sebuah rumah seluas 1,6 hektar lebih di Oaklands, Wimbledon.Saat liburan di Venesia, Putri Alice dari Monako memperkenalkan Nyonya Goei dan Hui Lan kepada para bangsawan.
JodohSelepas Venesia, Nyonya Goei mengajak Hui Lan ke Paris. Sang ibu bercerita hendak menjodohkan dirinya dengan seorang diplomat Tiongkok yang tidak lain adalah Wellington Koo. Wellington sebelumnya sudah pernah dua kali menikah karena dijodohkan paksa di zaman peralihan Dinasti Qing yang kolot dan munculnya Tiongkok Baru. Mereka bertemu saat Perang Dunia I baru berakhir. Wellington Koo adalah orang nomor dua dalam delegasi Tiongkok yang membahas tatanan dunia pascaperang. Mereka menikah akhir tahun 1918 di kantor perwakilan Tiongkok di Brussels, Belgia. Pasang-surut politik Tiongkok pada tahun 1920-an dialami pasangan Wellington dan Hui Lan saat tinggal di Beijing. Sempat tersingkir, saat Chiang Kai Shek mengambil alih kekuasaan, pemerintah Chiang akhirnya memanggil kembali Wellington. Terlahir dari keluarga superkaya, Hui Lan sudah terbiasa berkendara dengan mobil sekelas Bentley dan Rolls Royce pesanan khusus hadiah perkawinan. Kiprah Hui Lan dalam panggung diplomasi dunia dimulai tahun 1938 ketika Wellington Koo menjadi Duta Besar Republik Tiongkok untuk Perancis tahun 1936. Saat itu baru ada 13 kedutaan besar di Paris. Hui Lan, yang terbiasa bergaul dengan kalangan atas, mulai mengenal dunia protokoler diplomatik dan segera menyesuaikan diri. Hui Lan memperkenalkan politisi penting Eropa dengan masakan Tionghoa seperti sup hisit (sirip ikan hiu) dan merogoh kantong pribadi, melengkapi kedutaan besar dengan perabot Tiongkok dan Perancis nomor satu di Avenue George V, Paris. Kung Hsiang Hsi, Menteri Keuangan Tiongkok, menilai, kedutaan itu adalah perwakilan Tiongkok terindah di dunia. Saat Perang Dunia II meletus dan separuh Perancis diduduki Nazi Jerman, Kedutaan Tiongkok pindah ke Kota Vichy. Vichy adalah pemerintahan Perancis ”merdeka” yang berada di sebelah selatan negeri itu. Tidak lama berada di Vichy, Hui Lan mengikuti suami yang dipindahkan ke London, Inggris, di tengah peperangan. Mereka berangkat via Lisabon, Portugal, yang merupakan negara netral. Sekali lagi, Hui Lan menjalin hubungan akrab dengan Ibu Suri Mary, Putri Elizabeth (kini Ratu Elizabeth), Perdana Menteri Winston Churchill, dan tentu saja Raja George VI yang memimpin Kerajaan Inggris. Istana Buckhingham menjadi tempat yang biasa disambangi Hui Lan. Hui Lan memodifikasi acara high tea (minum teh sore) dengan suguhan sup sarang burung walet, sup hisit, lidah burung merak dengan jamur dan kacang, serta beragam hidangan eksotis. Hui Lan dikenal mampu memancing suasana yang kaku menjadi hangat seperti suatu ketika di jamuan makan malam di Downing Street 10 bersama Churchill yang sedang bermuram durja. Churchill akhirnya tertawa lepas setelah Hui Lan berbincang dan mengajaknya berbicara soal hobi melukis sang PM.
ChurchillChurchill meminta pada Hui Lan agar diberi kesempatan berburu harimau Manchuria sebelum meninggal. Hui Lan menyanggupi permintaan tersebut. Selanjutnya, tahun 1944, Wellington dan Hui Lan untuk sementara menghadiri sidang di Dumbarton Oaks, AS, untuk meletakan dasar berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada tahun 1946, Wellington Koo menjadi Duta Besar Tiongkok di AS. Hui Lan bergaul dengan sobat baru seperti Presiden Harry S Truman. Hui Lan menjadi istri Dubes hingga suaminya mengakhiri penugasan di AS tahun 1956. Wellington, ujar Tommy Lee, kembali menikahi perempuan lain. ”Namun, secara resmi yang dikenal sebagai Madame Wellington Koo adalah Oei Hui Lan dari Semarang,” kata Lee. Oei Hui Lan mengakhiri hari tua di dalam sepi dan lepas dari kehidupan yang glamour. Dia menulis buku yang judulnya diambil dari pepatah Tionghoa, Mei You Bu San De Yan Qing-Tidak ada pesta yang tak berakhir-No Feast Lasts Forever. Akhir hidup sederhana dari seorang perempuan asal keluarga superkaya. Perusahaan Kian Gwan Concern diambil alih Pemerintah Republik Indonesia dan berganti nama jadi Rajawali Nusindo. (penulis Iwan Santosa http://cetak.kompas.com/read/2010/08/12/0231284/nyonya.semarang..dan..chiang.kai.shek.)
Gambar atas: Wellington Koo dan Madame Wellington (Oei Hui Lan) dalam publikasi Life...

5 comments:

Zafar_Ahmad said...

like

Unknown said...

There is something slightly askew with the way Peranakan Chinese treat the country that has bestowed do much riches to them.

Hui Lan used her family fortune to advance the Chinese Governmenf standing in the internationsl world. And her family fortune was mainly amazed in........Java!

When an English man moves to France and become successful in his adopted country, he will invest back in his adopted country. The Peranakan Chinese amaze their fortune in Malaysia, Singapore and Nusantara, but keep their allegiance to .... mainland China.

I am personally more incline to appreciate more the new breed of Peranakan Chinese in Indonesia/Nusantara. Like the Soeryadjaja, the Lembong, the Widjaja, the Moeljadi, the Oetama, etc. They understand the importance of investing back in their adoptive country. And in return they are not even considered Peranakan anymore. They have become the outstanding natives. Just like how the Javanese kings in the past, started with Raden Patah (Chinese: Jin Bun) who were all at least half Chinese, and the Wali Songo, who were all Chinese, had become the most outstanding Javanese in their adoptive country.

If Hui Lan wanted to shower Mr Koo, her Chinese government official husband with so much money to advance his political career, fine. But there is nothing special, let alone admirable about that.......

Unknown said...
This comment has been removed by a blog administrator.
Felicia said...


Minimal deposit 50rb
Bonus member baru 30%
Bonus harian 5%
Aman & Terpercaya
hanya di bit.do/bolay0

Whatsapp kami
bit.do/WA_BOLAYO

+6282321807397

JESSICA YONG said...

KUMPULAN VIDEO LUCU,LANGSUNG SAJA TEKAN LINK DI BAWAH INI YA :

https://sukamodel. com

YUK DAPATKAN BONUS Rp. 10.000 SECARA GRATIS TANPA SYARAT ....!!!