Saturday, June 10, 2006

HUKUM MILITER

Sementara Westerling merasa jiwanya tenang dengan adanya pasifikasi di Sulawesi Selatan. “Kalau saya melakukan pengepungan wilayah, maka saya pisahkan fihak wanita dan anak-anak dari para laki-laki. Sering kali kita atur sendiri agar para laki-laki antri untuk berbaris. Pada pertemuan tersebut biasanya mereka dengan bahasa setempat menyebut saya sebagai sitopi merah (maksudnya baret merah dari pasukan komando Inggris) sebagai orang yang menentukan rencana pelaksanaan. Kemudian kepada orang-orang ektrimis yang tampa baju itu berdasar Qur’an kita suruh mereka mengucapkan sumpah dengan kata-kata : bahwa saya adalah sesungguhnya seorang Nasionalis yang selalu setia. Selanjutnya para ekstrimis dipisah-pisahkan mana yang akan ditembak mati dan mana yang tidak. Dalam kesempatan seperti diatas kita selalu berhitung dengan menyertai pimpinan adat setempat. Para ahli hukum militer selalu mencoba mengatakan bahwa gambaran ini merupakan suatu usaha kontra teror. Itu tidak benar. Tujuan utamanya adalah untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Saya selalu bersikap keras pada anak buah saya agar mereka menjaga tingkah laku mereka. Para prajurit dilarang berjalan diatas kebun penduduk. Mereka harus dapat membuat masyarakat respek.
Di Sulawesi tidak seorangpun dari anak buah saya yang bertingkah laku buruk kecuali apa yang terjadi disebelah utara (dekat Galoeng-galoeng-PS) Hal ini terjadi semata-mata karena kepanikan .Dibawah para opsir ada seorang yang berasal dari DST (Depot Speciale Troepen). Pangkatnya adalah pembantu letnan. Dia tak secara langsung dikeluarkan dari DST , tapi dikirim kembali ke Jawa. Kejadiannya adalah ketika 3 orang anak buah pasukan yang bersenjata lengkap dihadang–mereka merupakan pemuda masih hijau tampa pengalaman-dan mereka ditembak mati. Kemudian terjadilah pembalasan dendam. Hal tersebut tidak mungkin akan terjadi atau tidak akan terjadi lebih lanjut kalau saja saya pimpinan komandonya”.
Pada tgl 17 Januari 1947 oleh Oditur Militer di Makasar tuan A.G.Veldhuis dikirimlah surat kepada seorang procureur general bernama Felderhof di Batavia. Dia menceritrakan bahwa upaya pemulihan kemanan dan ketertiban yang dilakukan oleh Kapten Westerling dapat diartikan kejahatan. Hal itu tidak dapat diteruskan dan demi keadilan, KNIL harus menanggapinya dengan menjatuhkan sangsi hukum kepadanya, selama ini artinya fihak angkatan tertidur.
Veldhuis punya pengalaman lain tentang seorang Kapten bernama Horsthuis yang menggunakan cara yang sama seperti halnya yang dipakai Westerling, tetapi dia sudah diperingatkan lebih dahulu bahwa tindakannya akan menimbulkan ekses dan pelakunya bisa dihukum. Kemudian Felderhof memberi jawaban nasihat awalnya kepada Veldhuis . Reaksinya adalah dia sangat khawatir bahwa kejadian dimaksud sudah benar-benar terjadi. Felderhof mengirim Veldhuis sebuah telegram. Dia harus tetap mengamati perkembangan dari pelaksanaan hukum militer tersebut yang dilihat dari sudut pandang lain dan tidak dapat dipertahankan lagi, karena itu berarti suatu aksi militer, dan itu tidak dibenarkan. Felderhof prihatin terhadap masalah ini dan segera mengkontak pimpinan militer setempat.
Sementara itu masalahnya sekarang berita tentang hukum militer ini sudah cepat sampai ketelinga Letnan Gubernur Jenderal H.J.van Mook dan sejumlah departemen terkait. Van Mook mengetahui perihal dimaksud melalui tuan Tadjoeddin Noor, ketua perlemen Pemerintahan Negara Indonesia Timur. Kemudian van Mook meneruskannya lagi kepada dr P.J.A Idenburg, direktur jenderal urusan umum. Dalam jawabannya Idenburg menggaris bawahi tindakan yang dilakukan Westerling itu dapat dilihat dari arah kepentingannya. Penjelasannya ini dianggap lebih penting ketimbang penjelasan Felderhof.
Dalam suratnya kepada van Mook, Idenburg menjelaskan bahwa usul dari Lambers tentang hukum militer semata-mata berdasarkan dasar hukum . Dia harus menyadari bahwa hal ini terjadi terutama bukan untuk pengorbanan dari orang yang terbunuh pada saat aksi militer. Penjelasan dari Felderhof kepada van Mook terjadi pada tanggal 27 Januari. Hal tersebut tidak berlebihan dan berarti suatu pendapat yang tidak berlawanan dan merupakan cara lain dari Westerling yang dipraktekkannya. Dia bertahan pada argumennya-yang dinamakannya “semacam jalousie de metier”-bahwa orang-orang KNIL ini tidak dapat dituntut untuk menahan diri. Tetapi rupanya Westerling dan kelompoknya mungkin mendapat izin untuk melanjutkan pelaksanaan hukum militer tersebut .
Tadjuddin Noer menyebutkan dalam suratnya kepada van Mook, menurut temanya ex-datoe dari Soeppa, sorang anak raja Sulawesi , bahwa hukum militer itu harus ditarik. Dan Westerling harus ditangkap serta harus dibawa ke Batavia. Berdasarkan surat Noer itulah van Mook kemudian mengeluarkan keputusan untuk mengahiri aksi militernya Westerling. Dia menulis surat kepada Idenburg yang cukup panjang dengan kesimpulan bahwa “Depot Speciale Troepen harus bertindak bijaksana untuk secepatnya mengahiri” .Inti dari suratnya adalah : “Untuk jelasnya, cara ini hampir tidak ada bedanya dengan yang dilakukan fihak Nazi-Jerman dan Fasis-Jepang, dan tidak cukup hanya melakukan desakan untuk berdiam diri tapi untuk membebaskan”.
“Berdasarkan laporan yang masuk saya tidak dapat memutuskan (laporan yang mana yang dimaksud, tidak jelas PS) bahwa dirinya telah tiba pada batas kewenangan yang berlawanan, berkaitan dengan aksi yang dilakukan DST dirinya diperhitungkan terlalu tinggi. Selain itu dapat pula dikatakan bahwa secara bijaksana, tidak ada ekstrimis, yang ada hanya Nasionalis yang fanatik, sehingga oleh karena itu harus dipisahkan terutama faktor semangat perjoangannya .

2 comments:

RINGS Central said...

Hello,

I'm a history student from Holland. I'm writing my thesis about Raymond Westerling.

I wonder how he is looked up on in Indonesia today. And do you know if the commemorations in Sulawesi still take place.

Best reagards,

Fredrik (romfartuna@hotmail.com)

DCAja said...

nice post pak!